Masih ingat dengan pepatah Guru kencing berdiri, murid kencing berlari? Kalau iya, apakah kira-kira Anda sudah paham betul apa makna yang tersirat di balik pepatah populer tersebut? Beberapa dari Anda saya yakini paham betul makna pepatah itu, tetapi mungkin lupa implementasinya.
Sejak zaman modern terbentuk, permasalahan yang terjadi di ruang lingkup kelas turut mengikuti timeline sejarah. Hipotesis atau bahkan hukumnya: “Semakin modern zaman, maka para pelajar menjadi semakin malas.” Mengapa hal itu dapat terjadi? Atau…, bagaimana para pelajar (dalam hal ini: mahasiswa dan siswa, murid dan santri, atau apapun sebutannya) bisa menjelma menjadi pemalas?
Kita tidak hendak menafikan para pelajar yang rajin. Namun, mereka tentunya berjumlah minoritas, kalah banyak dibandingkan yang malas. Sementara dalam ilmu statistika, kelompok minoritas tidak bisa dijadikan sampel untuk pengambilan rata-rata; karena dapat mengaburkan hasil atau bahkan membuat hasil penilaian melenceng dari semestinya. Sebagai contoh: Juragan Amir kaya raya di kampungnya. Kebanyakan penduduk di kampung Juragan Amir sering kelaparan. Tentu saja kita tak bisa membuat premis atau mengambil kesimpulan bahwa kampung Juragan Amir adalah kampung sejahtera, hanya karena seorang juragannya yang kaya raya.
Kembali ke topik. Berikut ini akan kita paparkan beberapa hal yang menyebabkan para pelajar bermetamorfosa menjadi para pemalas. Mungkin pembaca sekalian turut pula atau pernah merasakannya.
1. Dosen/guru sering telat masuk kelas
Tidak bisa kita pungkiri bahwa menunggu adalah suatu hal yang amat membosankan. Terlebih lagi bila yang ditunggu-tunggu adalah hal yang tak pasti. Dijamin Anda akan menjadi marah atau minimal sebal.
Seorang mahasiswa yang sejak ayam berkokok sudah semangat bangun pagi; mandi sampai lupa sikat gigi; sarapan cuma makan roti, bisa tiba-tiba down tatkala setelah menunggu 1-2 jam ternyata sang dosen baru datang. Semangat yang tadinya membuncah, bisa sirna tak berbekas dalam 1-2 jam tersebut.
Contoh lain, lihatlah betapa liarnya murid-murid yang “ditinggal” oleh gurunya dalam kurun hanya 10 atau 15 menit! Mereka akan membuat kegaduhan dalam kelas yang dapat mengganggu siswa di kelas lain. Yang lebih parah: murid-murid itu akan berkeliaran ke luar kelas bahkan hingga ke luar pekarangan sekolah sehingga menimbulkan pemandangan “tidak sedap” terutama bagi siswa di kelas lain.
Saat guru mereka datang, niscaya akan sangat sulit bagi sang guru untuk mengumpulkan kembali siswanya tersebut; karena mereka sudah kadung “tertarik” pada hal lain dan malas untuk belajar.
2. Dosen/guru tidak menepati janji yang telah dibuat
Dosen sering merasa bahwa mereka adalah sosok yang penting. Bahkan saking pentingnya, mereka sampai lupa bahwa tugas utamanya adalah untuk mengajar para mahasiswa. “Orang penting” tipe ini sering disibukkan oleh urusan-urusan yang tak ada hubungannnya dengan kelas dan mahasiswanya, seperti proyek; seminar di hotel A-gedung B; rangkap jabatan; dan lain sebagainya.
Akibat terlalu anggap enteng terhadap mahasiswanya, mereka seringkali mengabaikan janji yang telah dibuat, seperti jadwal rutin untuk mengajar; dan/atau jadwal make-up kelas. Yang paling sering dijadikan alasan adalah: “Mahasiswa harus lebih mandiri. Lebih banyak belajar sendiri!” Yang lebih parahnya, pakai persentase segala: “Mahasiswa sekian persen, dosen hanya sekian persen.” Hal itu benar, tapi bukan berarti dapat dijadikan alasan untuk mangkir atau ingkar janji sama sekali. Coba tanya para mahasiswa – di mana saja – apakah pernah mereka berjumpa dengan dosen yang mangkir hingga satu semester!
Selain menjatuhkan semangat belajar, hal ini juga bisa menjadi contoh yang amat buruk. Jangan sampai mahasiswa kita berpikir bahwa suatu hari nanti saat mereka berada di atas; mereka bisa berbuat sekehendaknya dan bisa ingkar janji pada orang yang di bawahnya!
Kadang saya mencoba mengerti bahwa para dosen itu juga tengah berupaya untuk menjaga dapurnya agar tetap mengepul. Tetapi, kenikmatan yang kita peroleh, sedapat mungkin tidak mengorbankan kepentingan orang lain. Terlebih bila itu kita lakukan secara sadar. Jika kita memang menganggap kecil peran sebagai pengajar dibandingkan “ceperan” di luar, lebih baik kita lepaskan profesi pengajar itu – daripada makan korban. Padahal, orang tua siswa atau mahasiswa banting tulang, jual tanah-sawah, bahkan jual harga diri demi satu harapan: melihat putra-putrinya berhasil.
3. Jadwal belajar yang tidak masuk akal
Pernahkah kita bertanya: “Apakah padatnya kurikulum memang benar untuk membuat anak-didik tambah cerdas, atau sekedar untuk mendatangkan proyek baru?” Jelas bahwa mata kuliah/mata pelajaran baru, berarti buku baru; LKS baru; seminar baru; anggaran baru; dan segala baru-baru yang lain.
Saya kira, para pembaca yang budiman sudah tahu bahwa di negara-negara maju, para anak-didik sudah dijuruskan sejak usia dini: SMP bahkan mungkin SD. Penjurusan berarti pelajaran yang diberikan menjadi lebih fokus, tidak melebar ke mana-mana. Penjurusan disesuaikan dengan “minat” dan “kemampuan” si anak. Tujuan penjurusan adalah untuk membuat pengajaran lebih mantap dan tidak sia-sia.
Coba bandingkan dengan kurikulum yang ditawarkan di negara kita! Mulai dari SD hingga perguruan tinggi sama saja. Padahal katanya: “Kalau ingin berhasil, kita harus fokus.” Di mana teori itu dalam kurikulum kita? Maka, jangan heran apabila para mahasiswa dan para siswa kita menjadi pemalas bahkan cenderung menjadi pemberontak budaya! Itu semua akibat depresi yang mereka rasakan. Bagaimana tidak depresi? Anda saja jika oleh si bos diberi setumpuk pekerjaan dengan deadline yang “membunuh”, kira-kira bagaimana jadinya?
4. Biaya pendidikan yang sulit dijangkau
Bukan hanya orang tua yang dibuat pusing bila biaya kuliah atau sekolah melangit, para pelajar pun demikian adanya. Jangan berpikir bahwa semua anak tidak tahu diri! Banyak di antara mereka tahu diri dan keadaan keluarganya, sehingga tak jarang kita jumpai para pelajar itu malas melanjutkan pendidikan dan lebih memilih bekerja setelah lulus. Hanya saja, alasan seperti itu jarang mereka mau sampaikan kepada orang tuanya langsung. Biasanya disampaikan kepada teman atau orang lain saat curhat-curhatan.
Saat faktor ekonomi lebih besar pertimbangannnya, niscaya orang akan malas untuk (sekedar) memikirkan hal lain yang tidak menghasilkan – seperti pendidikan misalnya.
Apabila diamati, empat hal tadi adalah faktor internal utama yang selalu berpotensi menimbulkan kemalasan untuk belajar. Faktor yang datangnya dari dalam tubuh dunia pendidikan itu sendiri. Jika dibalik atau dinegasikan, keempat faktor tadi justru bisa menjadi solusi.
Dosen/guru jadi lebih tepat waktu, dosen/guru jadi lebih tepat janji, kurikulum jadi lebih akomodatif dan manusiawi, biaya pendidikan yang tak membuat orang tua berpikir ulang untuk menyekolahkan anaknya. Negara kita bisa mulai dari hal-hal yang prinsipil seperti itu. Kita belum lagi membahas trik-trik menghilangkan kemalasan belajar, seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara maju – meskipun itu esensial guna mendorong semangat belajar. Di Amerika dan Eropa mereka menggunakan sarana audio-video dan multimedia untung merangsang anak-didik. Di sebuah negara di Skandinavia mereka bahkan mengizinkan murid-murid SD untuk mengenakan sandal-sandal unik (yang biasanya dipakai sebagai sandal tidur) hanya demi menambah antusiasme murid-murid itu datang ke sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar